IMPERIALISME BUDAYA OLEH NEGARA-NEGARA EROPA DAN AMERIKA SERIKAT DI DUNIA SEBAGAI DAMPAK DARI GLOBALISASI






Qomaruzzaman
Universitas Negeri Malang


ABSTRAK: Analisis tentang modialisasi-globalisasi yang dilihat sebagai pemaksaan nilai-nilai budaya bangsa oleh negara Benua Eropa dan Amerika Utara di dunia terutama bangsa ke negara dunia ketiga, tetap menjadi satu diantara sekian interpretasi klasik dari fenomena yang dikaji. Pertanyaan mengenai suatu kesenjangan dalam pertukaran budaya-budaya dimasa lampau pada abad 20 yang tidak dapat dipungkiri, hal itu dapat disimpulkan melalui kajian pustaka penulis. Negara-negara kuat dan adidaya telah mencoba memaksakan produk-produk budaya dan nilai-nilai mereka. Mesikipun organisasi budaya internasional seperti UNESCO hadir hanya mamapu mengurangi unitaliteralime budaya dari kekuatan yang mendominasi baik dari swasta maupun pemerintahan. Bahwa globalisasi budaya menciptakan kesenjangan antarbangsa dan antarkelompok. Budaya dapat menjadi medan konflik, asal tidak terlalu meruncingkan berbagai pertentangan dan tetap memperhatikan mekanisme yang berjalan.
Keyword: Imperialisme; Budaya; Bangsa


PENDAHULUAN
Globalisasi merupakan proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah. Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan atau ide yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang hakikatnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia (Edison: 2005).
Dewasa ini dalam kehidupan sehari-hari setiap orang tidak lepas dari berbagai hal tentang globalisasi. Tehnologi informasi dan komunikasi merupakan faktor pendukung perkembangan globalisasi dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh dunia. Oleh karena itu globalisasi tidak dapat dihindari kehadirannya, terutama dalam bidang sosial budaya.
Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh globalisasi juga meliputi segala aspek kejidupan terutama pada aspek kebudayaan dan kearifan lokal. Yang patut dipertanyakan dan sekaligus sebagai rumusan masalah dari artikel berikut ini: Apa saja bentuk-bentuk imperialisme budaya di di Dunia dan Indonesia? Pada abad ke-21 ini dan seterusnya dengan adanya arus globalisasi dan imperialisasi semakin, kuat apakah budaya/kearifan lokal di Indonesia akankah bertahan?


KAJIAN PUSTAKA
Mengenai Globalisasi dan Imperialisme Budaya
Globalisasi adalah penyebaran praktek, relasi, kesadaran dan organisasi di seluruh dunia mengalami transformasi, sering kali secara dramatis, yang disebabkan globalisasi (Ritzer: 2012). Globalisasi dapat dianalisis secara kultural, ekonomi, politik dan institusional. Untuk setiap jenis analisis, perbedaan mendasar adalah tentang apakah kita melihat semakin meningkatkannya homogenitas atau heterogenitas.
Globalisasi budaya adalah penyebaran gagasan, makna, dan nilai ke seluruh dunia dengan cara tertentu untuk memperluas dan mempererat hubungan sosial (James Paul: wikipedia, 2006). Proses ini ditandai oleh konsumsi budaya bersama yang dibantu oleh Internet, media budaya masyarakat, dan perjalanan luar negeri. Konsumsi budaya bersama turut mendorong pertukaran barang dan kolonisasi yang menyebarkan budaya ke seluruh dunia. Penyebaran budaya memungkinkan seseorang terlibat dalam hubungan sosial lintas negara dan kawasan. Penciptaan dan perluasan hubungan sosial seperti ini tidak terlihat di tingkat material. Globalisasi budaya melibatkan pembentukan norma dan pengetahuan bersama yang sesuai dengan identitas budaya mereka, baik individu atau kelompok. Globalisasi budaya terus meningkatkan keterkaitan penduduk dan kebudayaan di dunia (Manfred, Paul: wikipedia, 2010)
Pada titik radikalnya globalisasi budaya dapat dipandang sebagai ekspansi berbagai peraturan dan praktik umum transnational  yang mengarah pada satu budaya (homogenitas) sehingga memaksakan nilai-nilai dan unsur-unsur budaya yang dianggap berbeda, ataupun sebagai proses yang di dalamnya banyak unsur budaya lokal (kearifan lokal) dan budaya global (western) yang berinteraksi untuk melahirkan sebuah pencampuran budaya  atau akulturasi yang mengarah pada terwujudnya beragam budaya (heterogenitas)
Negara Barat memproduksi mayoritas dari media, seperti film, berita dan komik. Hal itu bisa dilakukan karena mereka mempunyai uang (modal) untuk memproduksinya, sedangkan negara dunia ketiga membeli produksi-produksi tersebut karena lebih murah dibandingkan dengan memproduksi sendiri. Oleh karena itu, ketiga menonton media yang berisi cara hidup, kepercayaan dan pemikiran Barat. Lalu, budaya negara dunia ketiga mulai melakukan hal yang sama dengan Negara Barat dan akhirnya dapat mengusai pasar di negara dunia ketiga.
Sejarawan Francois Chaubet baru ini menulis buku tentang Globalisasi Budaya, menurut penulis karyanya cukup baik dan dapat dijadikan sebagai referensi. Menurut Francois Chaubet menonton siaran berita CNN, mengambil studi di luar negeri, melakukan perjalanan jauh (liburan di luar negeri), mengapresiasi secara lokal seniman-seniman yang berkarya dan berpameran di seluruh dunia dan menonton sepakbola Piala Dunia, semuanya adalah praktik-praktik dari globalisasi saat ini budaya yang umum saat ini. Praktik-praktik tersebut merupakan ekspresi dari globalisasi yang kian meluas pada abad XIX. Dunia Baru ini  hasil dari sebuah globalisasi yang resah. Beberapa pihak menuduh  “Coca-kolonisasi” dunia atau lahirnya sebuah “dunia Mc” yang menggabungkan McDonald dan McIntosh (Apple), sementara yang lain menuding sejumlah fenomena berakhirnya identitas yang dihasilkan globalisasi. Ada pula yang mengagung-agungkan dunia yang sedang dalam proses persilangan ini.
Imperialisme budaya merupakan hegemoni ekonomi, teknologi dan budaya dari negara-negara industri maju yang akhirnya menentukan arah kemajuan ekonomi dan sosial serta mendefinisikan nilai-nilai budaya di dunia. Dunia menjadi pasar budaya dimana terdapat kesamaan pengetahuan, mode dan musik yang diproduksi, dibeli dan dijual. Selain itu, terdapat kesamaan ideologi, keyakinan politik, pandangan mengenai kecantikan dan makanan di dunia (Matti Sarmela: wikipedia, 2014).
Imperialisme budaya dalam pengertian yang lebih mudah dipahami penulis adalah praktek mempromosikan budaya atau bahasa dari satu bangsa ke bangsa lain. Hal ini biasanya terjadi bahwa mereka adalah bangsa yang besar terutama dalam hal ekonomi atau militer yang kuat yang melakukan ekspansi kepada bangsa lebih kecil yang dianggap kurang makmur. Imperialisme budaya dapat mengambil bentuk kebijakan formal atau sikap umum.
Pertentangan antara western dan yang lain pada tataran budaya, diajukan oleh beberapa pemikir, bersumber pada politik, terkadang brutal (ketika masa penjajahan), terkadang lebih canggih (Chaubet: 2015). Seperti halnya tehnologi saat ini yang sedang dikembangkan oleh Eropa dan Amerika Utara yaitu negara yang mengklaim sebagai negara dunia pertama dan kedua. Mereka berusaha memaksakan pengaruhnya agar negara-negara berkembang yaitu negara yang dianggap sebagi negara dunia ketiga agar ikut menjadi negara maju seperti mereka. Yaitu dengan melakukan pemaksaan ekonomi pada suatu negara di dunia ketiga dengan melakukan apa saja untuk ikut berperan mengatur dan mengendalikan sistem perekonomian sehingga negara tersebut menjadi ketergantungan pada negara dunia pertama dan kedua.
Teori Imperialisme Budaya muncul sejak tahun 1960 dan telah menjadi topik pembahasan di kalangan elit politik sejak tahun 1970. Perbincangan tersebut melahirkan istilah-istilah seperti media imperialism, imperialism structural, ketergantungan budaya dan dominasi, sinkronisasi budaya, kolonialisme elektronik, imperialisme ideologis, dan imperialisme ekonomi. Dalam pendefinisiannya, Imperialisme kultural merupakan tindak upaya dalam mempromosikan budaya yang lebih kuat atas budaya yang diketahui dan diinginkan. Imperialisme kultural dapat mengambil bentuk yang aktif, kebijakan formal atau sikap umum. Sebuah awal dari kolonialisme digunakan dalam produk budaya ‘dunia pertama’ yang berbenturan dengan budaya dunia ketiga yang dianggap kolot atau tidak maju sehingga mampu menaklukan budaya/kearifan lokal.
Menurut Herbert Schiller dalam bukunya “The Concept of Cultural Imperialisme Today (1975)” menggambarkan berbagai proses, dimana masyarakat dibawa ke dalam system dunia modern dan bagaimana dapat mendominasinya (dunia barat), baik secara tertarik, tertekan, dipaksa, dan terkadang dengan menyuap lembaga-lembaga social agar selaras atau mempromosikan nilai-nilai dan struktur dominasi system. Media masa Negara barat yang mendominasi media massa di negara dunia ketiga. Media publik adalah contoh utama dari perusahaan operasi yang digunakan dalam proses penetratif. Untuk penetrasi pada skala yang signifikan media sendiri harus ditangkap oleh para pendominasi. ini sebagian besar terjadi melalui komersialisasi penyiaran. Dalam konsepnya imperialisme budaya adalah keseluruhan proses dimana sebuah masyarakat dibawa ke dalam sistem dunia modern dan strata yang mendominasi  kaum elit dengan diiming-imingi, ditekan, dipaksa, dan kadang-kadang disuap untuk menjadikan pranata-pranata sosial serasi dengan atau bahkan mendukung nilai dan struktur pusat sistem yang mendominasi. Dalam perkembangannya, teori imperialism budaya memiliki beberapa transformasi (Dedy:2014).
Adapun beberapa ahli juga mengemukakan teori-teori tentang Imperialisme Budaya. Di era postkolonial, imperialisme budaya dapat diartikan sebagai budaya warisan zaman kolonialisme, atau bentuk aksi sosial memberikan kontribusi bagi kelanjutan hegemoni barat Dalam hal ini akan membahas beberapa istilah-istilah yang muncul dalam perkembangan teori imperialisme budaya.
Menurut Michael Foucault, Imperialisme budaya adalah interpretasi filosofis tentang kekuasaan dan konsepnya tentang kepemerintahan. Foucault mendefinisikan kekuasaan sebagai immaterial, sebagai jenis hubungan tertentu antara individu-individu yang ada hubungannya dengan posisi sosial secara strategis yang kompleks berhubungan dengan kemampuan subjek untuk mengontrol lingkungan dan mempengaruhi orang di sekitar itu sendiri. Menurut Foucault, kekuasaan sangat terkait dengan konsepsinya tentang kebenaran . Kebenaran, seperti yang ia definisikan, adalah sistem prosedur untuk memerintahkan produksi, regulasi, distribusi, dan sirkulasi, yang memiliki keterhubungan dengan sistem kekuasaan. Oleh karena itu, melekat dalam sistem kekuasaan, selalu kebenaran yang secara spesifik budaya nya tidak dapat dipisahkan dari ideologi yang sering bertepatan dengan berbagai bentuk hegemoni.
Edward Said mendefinisikan imperialisme budaya dalam bukunya Budaya dan Imperialisme (1993), imperialisme kolonial meninggalkan warisan budaya pada saat (sebelumnya) dijajah bangsa yang tetap dalam peradaban kontemporer mereka, dan bahwa imperialisme budaya dikatakan sangat berpengaruh dalam kekuatan sistem internasional.
Herbert Schiller menyatakan teori imperialisme budaya sebagai negara Barat mendominasi media di seluruh dunia ini. Dapat dikatakan media massa di negara Eropa dan Amerika juga mendominasi media massa di dunia ketiga. Alasannya, media Barat mempunyai efek yang kuat untuk mempengaruhi media dunia ketiga. Media Barat juga memberi pengaruh yang sangat mengesankan bagi media di dunia ketiga. Sehingga negara dunia ketiga ingin meniru budaya yang muncul lewat media tersebut. Dalam perspektif teori ini, ketika terjadi proses peniruan media negara berkembang dari negara maju, saat itulah terjadi penghancuran budaya asli di negara ketiga. Selain itu Negara Barat yang mendominasi media di dunia kembali memiliki efek power full pada budaya di negara berkembang dengan cara memasukkan ide-ide bahkan memaksa dengan pandangan-pandangan Negara Barat yang dianggap mereka modern dan maju, hingga pada akhirnya menghancurkan budaya asli mereka.


PEMBAHASAN
Perkembangan era globalisasi yang hampir dirasakan oleh seluruh masyarakat dunia, baik negara maju ataupun negara berkembang. Globalisasi merupakan sebuah fenomena yang berhasil melapisi masyarakat internasional dengan melewati batas-batas negara, baik secara langsung ataupun secara tidak langsung yang batas-batas antar negara tersebut seolah-olah tidak tampak. Perdebatan perihal perkembangan globalisasi sudah sering terjadi, baik dari negara yang mengkonsumsi ‘hasil produk’ dari globalisasi tersebut ataupun negara yang menyebarkannya. Globalisasi akan sangat terasa dampak pengaruh perubahannya terutama bagi negara-negara berkembang, baik secara gaya hidup ataupun lingkungan. Perubahan dunia pasti terjadi, dan globalisasi merupakan dunia yang terhubung tanpa merasakan adanya batasan (connected world) atau disebut sebagai Global Village (Mc Luhan:1994).
Negara Barat yang telah maju dalam segi ekonomi dan politik ingin kembali memberikan pengaruh atau imperalisasi ke negara dunia ketiga. Teori imperalisme budaya yang dikemukakan oleh Herb Schiller menyatakan bahwa negara-negara Barat mendominasi media di dunia yang kembali memiliki efek power full pada budaya di negara berkembang dengan cara memasukkan ide-ide bahkan memaksa dengan pandangan-pandangan Negara Barat yang dianggap mereka modern dan maju, hingga pada akhirnya menghancurkan budaya asli mereka.

Emperialisme Budaya di Dunia
Setelah usai Perang Dunia II dan berakhirnya fase Perang Dingin antara Blok Barat dengan Blok Timur dengan runtuhnya Uni Soviet, kita mengenal istilah Imperialisme Budaya sebagai bentuk baru penguasaan bangsa-bangsa oleh kekuatan besar yang bertujuan menguasai tidak hanya kekayaan fisik, tetapi mental dan budaya bangsa lain yang menjadi "jajahan"nya. Sebenarnya Imperialisme Budaya sudah berlangsung sejak lama, seiring dengan gerakan ekspansi bangsa-bangsa Eropa dan mengiringi zaman kolonialisasi.
Sepanjang sejarah Empires (Zaman Kerajaan) telah dibentuk ekspansi menggunakan perang dan paksaan fisik (imperialisme militer). Dalam populasi jangka panjang cenderung diserap ke dalam budaya yang dominan, atau memperoleh atribut secara tidak langsung. Salah satu contoh : pertama dari imperialisme budaya adalah kepunahan budaya dan bahasa Etruscan disebabkan oleh pengaruh Kekaisaran Romawi.
Pada zaman pengaruh Yunani dibangun gedung olahraga, teater, dan tempat mandi umum (kolam renang, Spa, sauna) di tempat-tempat yang menjadi kawasan ekspansi (seperti Yudea kuno, di mana imperialisme budaya Yunani memicu pemberontakan massa), dengan efek bahwa populasi menjadi tenggelam dalam budaya itu. Penyebaran thekoine (umum) bahasa Yunani adalah faktor besar dalam perendaman ini.
Sebuah contoh kasusu imperialisme budaya yaitu bahasa daerah oleh Inggris. Negara Inggris meresmikan Kitab Doa Umum berbahasa Inggris yang doa ini dikutip dari kitab Injil Matius, yang muncul sebagai bagian dari Khotbah di Bukit. Dan yang mirip ada pula di kitab Injil Lukas. Tujuannya adalah untuk menekan bahasa non-Inggris dengan mengganti bahasa Inggris, pada Kitab Doa Umum yaitu mengganti bahasa Latin dengan ahasa Inggris di bawah kedok Katolik. Bahasa Inggris secara efektif dikenakan sebagai bahasa Gereja dengan maksud untuk menjadi bahasa rakyat. Pada waktu itu banyak orang di daerah Cornwall yang tidak berbicara atau mengerti bahasa Inggris. Banyak penutur bahasa Cornish dibantai oleh tentara Kerajaan, sementara mereka yang memprotes pengenaan buku Doa Inggris akan dihukum mati dan banyak pembalasan dari orang-orang yang menderita.
Sepanjang abad ke-18 dan 19 Inggris berusaha melakukan sebuah pembentukan dominan untuk menghilangkan semua bahasa non-Inggris dalam grup Island Inggris (seperti bahasa Welsh, bahasa Irlandia dan bahasa Gaelic Skotlandia) dengan melarang mereka atau dinyatakan meminggirkan speaker mereka. Banyak bahasa lain hampir atau benar-benar telah dihapus dengan titik ini dan termasuk Manx Cornish. Istilah ini mungkin pertama diterapkan pada Kerajaan Inggris yang banyak ukuran, seperti mendorong permainan kriket dan pengajaran bahasa Inggris, untuk lebih membangun pegang pada negara dan teritori di seluruh dunia. Kasus lain yang serupa juga terjadi di Swedia kepada bangsa Sami. Selama  abad 18 sampai akhir abad 19 dan awal abad 20.
Imperialisme budaya pada abad 20 ini berhubungan dengan Amerika Serikat dan Uni Soviet terutama pada-masa-masa perang dingin. Pada tingkat yang lebih rendah dengan negara-negara lain yang memberikan pengaruh kuat pada negara-negara tetangga. Sebagian besar negara luar Amerika Serikat merasa bahwa buku-buku populer dan ekspor budaya akademis tingkat tinggi melalui bisnis dan budaya populer seperti, film, musik dan televisi ekspor budaya populer dengan cara mereka yang unik yang dapat mengancam kehidupan atau nilai-nilai moral negra tersebut. Beberapa negara termasuk Perancis, memiliki kebijakan yang secara aktif menentang Amerikanisasi. Beberapa produsen budaya Amerika seperti Reader's Digest telah merespon atau sama sekali menghindari perlawanan seperti dengan mengadaptasi konten mereka (atau permukaan itu) untuk penonton lokal.·
Pengaruh budaya dapat dilihat oleh budaya “menerima”, baik itu sebagai ancaman atau bagian dari pengayaan identitas budayanya. Karena itu apakah dapat berguna untuk membedakan antara imperialisme budaya dalam artian sebagai sebuah sikap (aktif atau pasif) dari superioritas dan posisi budaya atau kelompok yang bertujuan untuk melengkapi produksi budayanya sendiri atau dianggap rusak karena produk impor atau nilai-nilai asing?.
Sejarawan Francois Chaubet baru ini menulis buku tentang Globalisasi Budaya yang didalamnya terdapat pembahasan imperialisme budaya dan karyanya cukup baik sebagai referensi. Menurut Francois Chaubet menonton siaran berita CNN, mengambil studi di luar negeri, melakukan perjalanan jauh (liburan di luar negeri), mengapresiasi secara lokal seniman-seniman yang berkarya dan berpameran di seluruh dunia dan menonton sepakbola Piala Dunia, semuanya adalah praktik-praktik dari globalisasi saat ini budaya yang umum saat ini. Praktik-praktik tersebut merupakan ekspresi dari globalisasi yang kian meluas pada abad XIX. Dunia Baru ini  hasil dari sebuah globalisasi yang resah. Beberapa pihak menuduh  “Coca-kolonisasi” dunia atau lahirnya sebuah “dunia Mc” yang menggabungkan McDonald dan McIntosh (Apple), sementara yang lain menuding sejumlah fenomena berakhirnya identitas yang dihasilkan globalisasi. Ada pula yang mengagung-agungkan dunia yang sedang dalam proses persilangan ini.
Kanada juga bergulat dengan pengaruh AS yang selalu ampuh. Selain dari fakta bahwa bisnis industri Amerika, pembelian Kanada dan sumber daya. Populasi Kanada terus menerus terkena tekanan media Amerika. Kanada telah merespon untuk memberlakukan undang-undang, yang mengharuskan stasiun radio untuk memutar persentase tertentu dari konten Kanada. Kanada memiliki kebiasaan memeluk budaya Amerika, tetapi juga telah berhasil dipertahankan ke khasan mereka sendiri.

Imperialisme Budaya di Indonesia
Negara Indonesia merupakan salah satu dari negara yang berkembang, sampai saat ini Indonesia masih memiliki budaya dan kearifan lokal yang beranekaragam. Dewasa ini dengan kemajuan tehnologi informasi dan komunikasi, budaya barat di Indonesia sudah masuk sejak Indonesia mengalami masa penjajahan Bangsa Portugis dan disusul Bangsa Belanda dan Jepang sampai merdeka. Kedatangan para bangsa penjajah tersebut telah meninggalkan kebudayaan barat seperti rokok pipa, musik keroncong, gaya bangunan dan lain sebagainya. Selain itu produk penjajah yang sampai sekarang masih terasa adalah berbagai produk hukum yang masih berlaku di Indonesia.  Selain itu negara-negara berkembang bahkan negara yang terbelakang terkadang memandang segala sesuatu yang ada di dunia barat hebat, sehingga masyarakat negara berkembang akan menirukan dan mengkonsumsi produk negara barat tersebut, seperti halnya trend/gaya hidup para artis Hollywood dan pemain bola di Eropa yang digemari masyarakat. Dan jelas terlihat bahwa produk budaya barat muncul di berbagai media saat ini, dan perlahan-lahan dapat meberikan pengaruh pada budaya/kearifan lokal.
Sisi lain yang sangat terlihat pada aspek globalisasi serta imperialisme di dalamnya yang perlahan-lahan mulai masuk. Hal itu tentunya dapat menggeser masyarakatnya untuk mengesampingkan produk-produk lokal atau bahkan lebih ekstrimnya tidak suka atas produknya sendiri. Seperti menonton siaran berita CNN yang jelas-jelas itu adalah produk Amerika yang masuk ke Indonesia. Selain itu ada gaya hidu yang menjadi gengsi orang-menengah ke atas yaitu melakukan perjalanan jauh (liburan di luar negeri) sedangkan di Indonesia ada yang lebih bagus, namun hal ini masih dapat disanggah dengan menampilkan iklan-iklan yang menyajikan keindahan Indonesia. Dan sampai sekarang yang masih marak dan trend di kalangan anak muda khususnya yaitu menonton pertandingan sepakbola liga-liga di Negara Eropa. Semuanya itu adalah praktik-praktik dari imperialisme budaya sebagai dampak dari globalisasi saat ini budaya yang umum saat ini. Praktik-praktik tersebut merupakan ekspresi dari globalisasi yang kian meluas pada abad 20 saat ini.
Praktik dari imperialisme budaya di Indonesia sebagai dampak dari globalisasi saat ini sudah dapat di bentengi oleh kalangan masyarakat yang mulai sadar akan pentingnya kelestarian warisan bangsa berupa budaya atau kearifan lokal. Selain itu untuk mengikuti arus globalisasi di dunia agar menjadi bangsa yang tidak tertinggal, Indonesia sudah dapat memproduksi barang yang berkualitas ekspor. Beberapa iklan TV Indonesia sudah melakukan promosi dan ajakan kepada masyarakat untuk membeli dan mencintai produk-produk buatan Indonesia.


Daftar Rujukan
Chaubet, Francois. 2015. Globalisasi Budaya. Yogyakarta: Jalasutra
Hermuningsih, Sri. (Tanpa Tahun). International Conference: Globalizing Lokal Wisdom Education. Pendidikan Global Berbasis Kearifan Lokal. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Tamansiswa Yogyakarta
M D, Dedy. 2014. Globalisasi dan Imperialisme Budaya di Indonesia. Bandung: Journal Communication Vol.5 No.2 Oktober 2014 (online:https://journal.budiluhur.ac.id/index.phpjournal=comm&page=article&op=download&path%5B%5D=26&path%5B%5D=11)
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi: dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terkahir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar



Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASYARAKAT DENGAN MITOS PESAREAN GUNUNG KAWI

SUAP KEPADA SUPELTAS